Apakah wajib menempelkan hidung bersama dahi saat sujud?
Apa yang mesti ditempelkan ketika sujud dijelaskan dalam hadits dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ – وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ – وَالْيَدَيْنِ ، وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ
“Aku diperintahkan bersujud dengan tujuh bagian anggota badan: (1) Dahi (termasuk juga hidung, beliau mengisyaratkan dengan tangannya), (2,3) telapak tangan kanan dan kiri, (4,5) lutut kanan dan kiri, dan (6,7) ujung kaki kanan dan kiri. ” (HR. Bukhari no. 812 dan Muslim no. 490)
Imam Nawawi rahimahullah menerangkan bahwa termasuk tuntunan melakukan sujud adalah dengan menempelkan hidung bersama dengan dahi (jidat). Al-Bandanijiy dan lainnya mengatakan bahwa disunnahkan meletakkan dahi dan hidung berbarengan, tidak mendahulukan yang satu dari lainnya. Jika hidung saja yang menempel sedangkan bagian dahi tidak ada yang menempel, maka tidaklah cukup (tidak sah). Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama Syafi’iyah. Namun jika dahi saja yang menempel, dianggap cukup. Imam Syafi’i dalam Al-Umm mengatakan, “Aku tidak menyukai hal itu, namun menganggap cukup.” Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i dan menjadi pendapat jumhur (mayoritas ulama).
Sedangkan penulis Al-Bayan, dari Syaikh Abu Zaid Al-Maruzi menyatakan ada satu pendapat dari Imam Syafi’i yang menyebutkan bahwa wajib sujud dengan dahi dan hidung berbarengan. Ini pendapat yang asing di kalangan madzhab Syafi’i, namun terasa kuat dari sisi dalil. (Al-Majmu’, 3: 277)
Imam Nawawi juga menyatakan bahwa ulama Syafi’iyah berdalil akan wajibnya menempelkan dahi pada tanah. Hal ini berdasarkan hadits Ibnu ‘Abbas dan Abu Humaid serta hadits yang lainnya, juga dari hadits Khabab yang dimaksudkan dalam kitab ini. Karena maksud sujud adalah tadzallul dan khudu’, yaitu tunduk dan menghinakan diri. Tentu hidung tidak bisa menggantikan dahi untuk mencapai tujuan tersebut. Tidak ada juga hadits tegas dilihat dari perbuatan dan perkataan (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang mencukupkan hidung saja tanpa dahi.
Ulama Syafi’iyah menyatakan bahwa menempelkan hidung tidaklah wajib. Mereka berdalil dengan tidak disebutkannya hidung, yang ada adalah penyebutan dahi secara mutlak. Namun argumen seperti ini lemah. Karena riwayat yang menyebutkan hidung adalah ziyadah tsiqah atau tambahan dari perawi yang shahih. Adapun ulama Syafi’iyah menanggapi hal itu dengan menyatakan bahwa hadits yang menambahkan hidung dibawakan ke makna sunnah (bukan wajib). (Al-Majmu’, 3: 277-278)
Amannya memang menempelkan dahi bersama dengan hidung. Sudah disinggung oleh Imam Nawawi bahwa pendapat tersebut lebih kuat dari sisi dalil. Adapun dikatakan penyebutan hidung adalah tambahan, tetap bisa diterima karena termasuk dalam ziyadah tsiqah, yaitu tambahan dari perawi yang kredibel.
Semoga bermanfaat bagi yang membaca, hanya Allah yang memberi taufik.
Referensi:
Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzzab li Asy-Syairazi. Cetakan kedua, tahun 1427 H. Al-Imam Abu Zakariya Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar ‘Alamil Kutub.
—
Selesai disusun di Pantai Gesing, Panggang, Gunungkidul, 3 Syawal 1436 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com